Senin, 19 November 2012

''TKI'' on sale

Setelah beredar di Malaysia, kini iklan TKI "On Sale" juga merambah Singapura. Hal ini diungkapkan politikus PDI Perjuangan, Eva Kusuma Sundari.

"Informasi menyedihkan saya terima siang ini dari WNI yang menemukan banyak tabung reklame neon tentang 'penjualan PRT Jawa' di Bukit Timah Plaza Singapore," ungkap Eva dalam keterangan tertulisnya, Senin (5/11), (okezone.com).

Dari informasi yang diterima anggota Komisi III DPR itu, tidak hanya iklan yang ditempel, melainkan para Tenaga Kerja Wanita (TKW) itu diberi seragam dan dipajang layaknya barang dagangan yang sudah siap dijajakan.

"Tidak saja info yang diiklankan dan biodata masing-masing TKW yang ditempel di kaca, tetapi para TKW ini diberi seragam dan diminta duduk berjajar layaknya barang dagangan dipajang untuk dipilih para pembeli," imbuhnya.

Celakanya lagi, kata dia, iklan tersebut juga menyediakan sistem pembelian TKW dengan cara tidak diberi gaji selama enam bulan. Padahal, kata dia, pemerintah di Timur Tengah saja seperti Uni Emirat Arab (UEA) sudah melarang pemotongan gaji selama tiga bulan. Lebih menyedihkan lagi, penjualan TKW ini disebar di seluruh mal di Singapura.


TKI: "Pahlawan Devisa"
Penggunaan istilah "sale" atau obral dalam iklan TKI di Malaysia beberapa waktu lalu memang keterlaluan. Melecehkan dan merendahkan martabat manusia. Wajar jika (pemerintah) bangsa ini marah. Tapi, sebenarnya tak hanya di luar negeri. Penawaran tenaga kerja kasar seperti penyedia jasa PRT juga marak di iklan-iklan media  dalam negeri. Memang, istilahnya mungkin bukan "sale" alias obral, sehingga masih terkesan beradab. Namun, persoalannya bukan sekadar bahasa iklan. Kita harus introspeksi, apakah memang keberadaan TKI itu menunjukkan tingginya martabat bangsa?

Selama ini, semakin banyak TKI diekspor, pemerintah semakin bangga dan senang  karena devisa negara mengalir deras. Maka itu mereka disemati "pahlawan devisa", meski nasib mereka bukannya bak pahlawan, malah sebaliknya, terjajah! Sudah banyak kasus TKI dirundung masalah. Iklan ini hanya satu bagian dari sederet pelecehan dan kekerasan, baik verbal maupun non verbal yang dialami TKI kita.

Ya, sudah lama bangsa ini menjadi pengekspor TKI ke berbagai negara. Sudah lama bangsa ini dilecehkan sebagai bangsa babu karena mayoritas hanya bisa bekerja di sektor kasar dan kotor. Tapi, selama ini tak pernah mencari jalan keluar bagaimana menghentikan ekspor TKI sebagai tenaga kasar itu. Apa sebenarnya akar permasalahannya?


Akibat Sistem Kapitalis-Sekuler!


Problem TKI sangat kompleks. Akar masalah keberadaan mereka adalah tidak terpenuhinya kesejahteraan di dalam negeri. Itulah yang menjadi PR besar pemerintah: bagaimana menghentikan pengiriman TKI selamanya, dengan menyejahterakan mereka.

Sebenarnya, penderitaan buruh migran Indonesia di negara tetangga tidak beda dengan yang dialami oleh buruh migran dalam negeri. Jaminan kesejahteraan dan hak-hak normatif buruh banyak yang terabaikan. Pemerintah lebih pro pengusaha dengan alasan menjaga iklim investasi sehingga mengorbankan buruh.

Selain itu, pemerintah kita sepertinya lebih suka menjadi calo untuk merayu investor (terutama asing) untuk mengelola sumber daya alam kita, ketimbang membangun industrinya sendiri sehingga pendapatan yang dihasilkan dari pengelolaan tersebut tentu saja jauh lebih kecil dibandingkan pendapatan yang akan diperoleh jika SDA kita dikelola Negara dan dikembalikan untuk kepentingan rakyat.

Beginilah, jika sistem yang diterapkan adalah sistem sekuler-kapitalis. Siapa yang punya modal, dialah yang akan diuntungkan. Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Maka, haruskah tetap bertahan dengan sistem seperti ini?***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar