Setelah
beredar di Malaysia, kini iklan TKI "On Sale" juga merambah Singapura.
Hal ini diungkapkan politikus PDI Perjuangan, Eva Kusuma Sundari.
"Informasi
menyedihkan saya terima siang ini dari WNI yang menemukan banyak tabung
reklame neon tentang 'penjualan PRT Jawa' di Bukit Timah Plaza
Singapore," ungkap Eva dalam keterangan tertulisnya, Senin (5/11),
(okezone.com).
Dari informasi yang diterima anggota Komisi III
DPR itu, tidak hanya iklan yang ditempel, melainkan para Tenaga Kerja
Wanita (TKW) itu diberi seragam dan dipajang layaknya barang dagangan
yang sudah siap dijajakan.
"Tidak saja info yang diiklankan
dan biodata masing-masing TKW yang ditempel di kaca, tetapi para TKW ini
diberi seragam dan diminta duduk berjajar layaknya barang dagangan
dipajang untuk dipilih para pembeli," imbuhnya.
Celakanya lagi,
kata dia, iklan tersebut juga menyediakan sistem pembelian TKW dengan
cara tidak diberi gaji selama enam bulan. Padahal, kata dia, pemerintah
di Timur Tengah saja seperti Uni Emirat Arab (UEA) sudah melarang
pemotongan gaji selama tiga bulan. Lebih menyedihkan lagi, penjualan TKW
ini disebar di seluruh mal di Singapura.
TKI: "Pahlawan Devisa"
Penggunaan
istilah "sale" atau obral dalam iklan TKI di Malaysia beberapa waktu
lalu memang keterlaluan. Melecehkan dan merendahkan martabat manusia.
Wajar jika (pemerintah) bangsa ini marah. Tapi, sebenarnya tak hanya di
luar negeri. Penawaran tenaga kerja kasar seperti penyedia jasa PRT juga
marak di iklan-iklan media dalam negeri. Memang, istilahnya mungkin
bukan "sale" alias obral, sehingga masih terkesan beradab. Namun,
persoalannya bukan sekadar bahasa iklan. Kita harus introspeksi, apakah
memang keberadaan TKI itu menunjukkan tingginya martabat bangsa?
Selama
ini, semakin banyak TKI diekspor, pemerintah semakin bangga dan senang
karena devisa negara mengalir deras. Maka itu mereka disemati "pahlawan
devisa", meski nasib mereka bukannya bak pahlawan, malah sebaliknya,
terjajah! Sudah banyak kasus TKI dirundung masalah. Iklan ini hanya satu
bagian dari sederet pelecehan dan kekerasan, baik verbal maupun non
verbal yang dialami TKI kita.
Ya, sudah lama bangsa ini menjadi
pengekspor TKI ke berbagai negara. Sudah lama bangsa ini dilecehkan
sebagai bangsa babu karena mayoritas hanya bisa bekerja di sektor kasar
dan kotor. Tapi, selama ini tak pernah mencari jalan keluar bagaimana
menghentikan ekspor TKI sebagai tenaga kasar itu. Apa sebenarnya akar
permasalahannya?
Akibat Sistem Kapitalis-Sekuler!
Problem
TKI sangat kompleks. Akar masalah keberadaan mereka adalah tidak
terpenuhinya kesejahteraan di dalam negeri. Itulah yang menjadi PR besar
pemerintah: bagaimana menghentikan pengiriman TKI selamanya, dengan
menyejahterakan mereka.
Sebenarnya, penderitaan buruh migran
Indonesia di negara tetangga tidak beda dengan yang dialami oleh buruh
migran dalam negeri. Jaminan kesejahteraan dan hak-hak normatif buruh
banyak yang terabaikan. Pemerintah lebih pro pengusaha dengan alasan
menjaga iklim investasi sehingga mengorbankan buruh.
Selain itu,
pemerintah kita sepertinya lebih suka menjadi calo untuk merayu
investor (terutama asing) untuk mengelola sumber daya alam kita,
ketimbang membangun industrinya sendiri sehingga pendapatan yang
dihasilkan dari pengelolaan tersebut tentu saja jauh lebih kecil
dibandingkan pendapatan yang akan diperoleh jika SDA kita dikelola
Negara dan dikembalikan untuk kepentingan rakyat.
Beginilah,
jika sistem yang diterapkan adalah sistem sekuler-kapitalis. Siapa yang
punya modal, dialah yang akan diuntungkan. Yang kaya semakin kaya dan
yang miskin semakin miskin. Maka, haruskah tetap bertahan dengan sistem
seperti ini?***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar