Pemilihan Gubernur DKI Jakarta mendominasi pemberitaan politik di
media-media di Indonesia pada separuh 2012. Media nasional pun berlaku
menjadi media Jakarta dengan terus-terusan memberikan porsi besar buat
kampanye dua kandidat, petahana (incumbent) Fauzi Bowo dan gubernur pendatang Joko Widodo, mantan Walikota Solo.
Putaran pertama pemilihan Gubernur DKI menempatkan Jokowi sebagai pemenang, namun karena hasilnya tak lebih dari 50 persen,
maka pemilihan putaran kedua terpaksa dilakukan. Kampanye putaran kedua
menunjukkan politik dalam bentuk terburuknya, saat unsur SARA —
terutama agama kandidat — menjadi bahan untuk mendiskreditkan lawan
politik. Jor-joran biaya politik kedua kandidat utama ini juga menjadi sorotan.
Hasilnya kita sama-sama tahu. Jokowi menang atas Foke. Analisis kekalahan Foke memang beragam, namun bisa saja intinya hanya satu, popularitas Jokowilah yang membuat dia keluar sebagai pemenang.
Usai
dilantik 15 Oktober lalu, yang pelantikannya juga ditayangkan secara
langsung oleh berbagai media "nasional", Jokowi pun segera mengeluarkan
rencana dan janji-janji yang menjadi khasnya. Ia turun mengecek
pengurukan sungai-sungai Jakarta. Ia pun datang mendadak ke kantor
kecamatan dan kelurahan di Jakarta. Kenyataan yang ia temukan adalah
betapa membuat frustrasinya pelayanan birokrasi pegawai negeri sipil di Jakarta.
Ia juga berjanji memberantas kampung-kampung kumuh di Jakarta dan mendistribusikan kartu Jakarta Sehat.
Wajah Satpol PP yang galak pun berusaha ia ubah. Dalam sebuah apel dengan Satpol PP, ia meminta agar satuan keamanan tersebut tak main gebuk jika berhadapan dengan pedagang kaki lima. Jokowi bilang akan mempertahankan kebiasaan keluar-masuk kampung atau blusukan dalam bahasa Jawa. "Gaya saya, gaya blusukan."
Yang terbaru, Jokowi menyetujui upah minum pekerja DKI Jakarta bisa naik menjadi Rp2,2 juta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar